Kapitalisme Pengawasan
Bayangkan betapa power full-nya Facebook, baik disengaja atau tidak, ketika terjadi penyalahgunaan data Facebook sampai mempengaruhi proses pemilu Amerika Serikat tahun 2014. Ya, skandal Facebook yang melibatkan Cambridge Analytica pada 2018 silam telah membuka tabir para raksasa belantara digital (baca: perusahaan platform digital) terkait penyelewengan data pribadi pengguna. Cambridge Analytica terbukti memanfaatkan data pengguna Facebook untuk kepentingan politik pemilu Amerika Serikat pada 2014. Tak hanya itu, investigasi yang dilakukan New York Times pada akhir 2018 melaporkan bahwa Facebook memberi akses bagi Netflix, Spotify, dan Royal Bank of Canada (RBC) untuk membaca, menghapus, dan menulis pesan pribadi pengguna (Zanna Afia Deswara, 2019).
Di sisi lain, kita dapat melihat luar biasanya Google. Berawal dari percakapan dengan salah satu insinyur Google yang dilakukan Alastair Mactaggart tahun 2015, dengan hasil yang cukup mengagetkan, “Oh, you'd be horrified if you knew how much we knew about you.", seolah-olah Google lebih tahu kita ketimbang diri kita sendiri. Dimulai dengan memanfaatkan data logs yang seakan menjadi knalpot digital menuju jalan sistematik yang mengawali dimulainya surplus data yang dimiliki Google juga sebagai cara Google menghasilkan prediksi yang tepat, kemudian dengan mengintegrasikan algoritma machine learning, dengan data yang dimiliki Google, tentu itu semua sangat mungkin dilakukan dan Google melakukan itu untuk mendatangkan keuntungan, dan Google bukan satu-satunya perusahaan yang dapat melakukan itu.
Pada tahun 2014, Shoshana Zuboff, penulis dari Amerika Serikat menciptakan istilah lain terkait pengawasan kontemporer yang dikenal dengan surveillance capitalism atau kapitalisme pengawasan. Menurut teori Zuboff, surveillance capitalism adalah bentuk pasar baru dan logika spesifik akumulasi kapitalis. Kapitalisme pengawasan merupakan logika akumulasi yang muncul dari jejak digital, era baru dari penggunaan teknologi digital. Menurut Zuboff, terdapat pihak yang lebih kuat dan canggih dibanding institusi negara dalam melakukan pengawasan dan mata-mata. Pihak tersebut tak lain tak bukan adalah perusahaan platform digital. Pengguna merupakan pemasok data sekaligus objek periklanan online. Platform media sosial melakukan monetisasi data pengguna untuk kepentingan bisnis atau ekonomi (Zanna Afia Deswara, 2019).
Akhirnya pemerintah setiap negara di dunia mesti memahami hal ini, perlu ada kebijakan akan kapitalisme pengawasan secara nasional maupun internasional. Kapitalisme pengawasan yang dilakukan perusahaan platform digital perlu di bendung, khususnya perusahaan tersebut perlu memahami dampak masa lalu, sekarang dan masa depan dari penerapan algoritma yang mereka lakukan. Tidak semata-mata hanya menghasilkan lebih banyak uang, tidak semata-mata berfokus pada ekonomi digital, tetapi ekonomi berkelanjutan juga sangat perlu untuk dipertimbangkan. Tidak hanya menguntungkan satu atau beberapa negara saja, tetapi juga menghasilkan kesepakatan akan kebersamaan dan nilai-nilai kemanusiaan.
Sumber:
Komentar
Posting Komentar